“Hayawi bekerja di toko buku seumur hidupnya. Ayahnya, Abdel-Rahman, mendirikan toko itu pada 1954, dan sesudah meninggal pada 1993, lima anaknya mewarisi bisnis itu, menggantung potret si Patriark yang memakai topi musim dingin ala Rusia di tembok berpanel kayu. Selama bertahun-tahun, Hayawi
dan kakak sulungnya mengembangkan bisnis sang Ayah. Mereka memiliki toko lain di al-Mutanabbi—Toko Bku Legal dan Toko Buku Nibras—bersama bisnis lain yang menjual Alquran di seluruh kota.
Keluarganya adalah muslim Sunni, tetapi Hayawi mengecilkan pentingnya identitas itu demi mengasah kepekaan diri dan ia tinggal bersama istri dan putranya, Ahmed Akram, di lingkungan yang didominasi muslim Syiah. Ia bangga atas kemandiriannya, menjadi pribadi yang merayakan pusaran abu-abu, suatu cerminan terbaik dari intelektual yang sudah sepatutnya merepresentasikan Jalan al-Mutanabbi.
Kali pertama kami berjumpa saat aku memasuki toko buku miliknya sebelum invasi tatkala Saddam Hussein masih berkuasa pada 2002. Seperti biasa, ia begitu mencolok dengan rambut plontos dan bahkan saat itu ia langsung mengajakku bicara. “Invasi Irak ke Kuwait itu salah,” katanya, suatu ungkapan cukup berani—unek-unek yang dianggap penghinaan kala itu. Akan tetapi lama kemudian ia sulit memahami obsesi Amerika atas Irak dan Saddam. Mengapa, katanya, krisis demi krisis terus berlangsung? Untuk senjata pemusnah massal? Kami tidak punya satu pun. Jika pun punya, ia berseru, kami akan menembakkannya ke Israel. Sebuah perang hanya untuk menjungkalkan Saddam?”
Artikel-artikel dalam buku saku ini diterjemahkan Fahri Salam, editor di Tirto.id, dan pernah dirilis di blog pribadinya. Twitter: @fahrisalam